Selain itu, metode pengajaran guru dan jenis evaluasi belajarnya pun ditengarai tidak menunjang penguasaan kompetensi berbahasa secara utuh.
Fasli mengatakan bahwa budaya baca siswa yang rendah itu disebabkan pembiasaan membaca yang kurang baik di sekolah maupun di rumah. Di sisi lain, siswa tetap menganggap Bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dan menganggapnya tidak perlu dipelajari lebih mendalam.
Ini berbeda dengan mata pelajaran (mapel) Bahasa Inggris, misalnya. Kebiasaan-kebiasaan dan penilaian salah tentang mapel Bahasa Indonesia itulah yang menyebabkan kemampuan berbahasa siswa terbatas.
"Bahasa Indonesia harus dari hati, seperti olahraga. Sekali tidak biasa melakukannya, maka tidak akan bisa," katanya.