Ayah era dulu digambarkan sebagai ayah yang melulu mencari nafkah di luar rumah lalu pulang membawa uang untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Mereka hanya meluangkan waktu sedikit untuk anak-anak. David J. Eggebeen dan Chris Knoester, dua psikolog keluarga dalam bukunya Does Fatherhood Matter For Men (Willeys Book, Los Angeles, USA 2000) memaparkan banyak pencitraan tentang pria masa kini yang masih berasumsi dari mitos-mitos kebapakan generasi sebelumnya. Padahal ayah-ayah sekarang berbeda. Mereka sadar betul bahwa ayah adalah sosok yang sama pentingnya dengan ibu bagi anak.
Mitos 1: Ketika bayi, anak tidak memerlukan ayah.
Fakta: Marcus Jacob Goldman, MD dalam bukunya The Joy of Fatherhood (Three River Press, UK, 2000) memang menegaskan soal kedekatan hubungan antara ibu dan bayi, terutama bila bayi sedang menyusu. Pemandangan ini membuat ayah tidak yakin apakah si bayi memerlukannya. Untungnya, ayah zaman sekarang tahu cara yang tepat untuk mendekatkan diri pada buah hatinya, yakni dengan berani menggendong, mencium dan membelai si kecil.
Mitos 2: Ayah tidak tahu cara merawat anak.
Fakta: Dr. Henry Cloud dan Dr. John Townsend lewat bukunya Raising The Great Children (Zondervan, UK, 1998) mengatakan para ibu tak perlu khawatir karena pada kenyataannya ayah dapat merawat anak-anak sama baiknya dengan ibu karena semua ayah sebenarnya secara naluriah dikaruniai kemampuan untuk merawat anaknya. Tentu saja, seperti halnya ibu, ayah juga butuh waktu untuk belajar merawat buah hatinya, terutama ketika si kecil baru lahir. Ingat, para ayah juga butuh referensi agar terbiasa dengan perannya.
Mitos 3: Ayah yang penuh perhatian pada anak biasanya tak konsentrasi di jalur kariernya.
Fakta: Pria dibesarkan dan dididik untuk bekerja. Pekerjaan menjadi salah satu kunci dari rasa percaya diri mereka. Sayangnya, masyarakat menilai pria yang mengorbankan hidupnya dan lebih memilih keluarga daripada kariernya adalah mereka yang tidak sukses dalam pekerjaannya. Padahal menurut Cloud dan Townsend (1998), kini zaman sudah berubah. Banyak pria yang sangat menikmati perannya sebagai ayah. Peran ini sedemikian berarti dan meningkatkan status ayah. Perubahan status ayah ini justru dirasakan sebagai pemicu untuk lebih sukses dalam karier sehingga kian banyak kebutuhan anak yang dapat terpenuhi.
Mitos 4: Pola asuh ayah akan sama dengan ayahnya dulu.
Fakta: Biasanya pria akan mengikuti cara ayahnya dulu ketika sang ayah membesarkannya. Tapi pria sekarang juga berusaha menciptakan identitas dirinya sendiri sebagai seorang ayah. Para ayah modern berani mencontoh dan melihat role model dari media massa, lingkungan sosial, dan buku-buku pengasuhan. Mereka berani memilih yang terbaik bagi keluarganya dengan mengambil sisi positif dari keluarga di mana dulu dia dibesarkan. Demikian yang ditegaskan Daniel N. Hawkins, Paul R. Amato, Valarie King (2006) dalam Parent-Adolescent Involvement: The Relative Influence of Parent Gender and Residence” dalam Journal of Marriage and Family.
Mitos 5: Ayah tak mau mengorbankan pekerjaannya meski demi anak-anak.
Fakta: Dulu, ayah dianggap tidak pantas bila harus keluar dari pekerjaannya. Kini, pasangan modern semakin realistis. Bila karier ibu lebih maju, bisa saja ayah dengan sukarela meninggalkan pekerjaannya untuk mengurus rumah dan anak-anak. Lagi pula banyak pekerjaan zaman sekarang yang bisa dilakukan di rumah oleh para ayah, semisal menjadi konsultan ataupun penulis. Hal ini dinyatakan Koray Tanfer dalam bukunya, The Meaning of Fatherhood. (Whitaker Aguse, UK, 2002).
Mitos 6: Ayah hanya meluangkan sedikit waktu bersama anak-anaknya.
Fakta: Penelitian yang dilakukan Richard Lamb (2002) di Amerika terhadap 3.500 ayah berusia 25-45 tahun membuktikan hal sebaliknya. Kini, semakin banyak ayah yang bersedia meluangkan sebanyak mungkin waktu bersama anak-anaknya. Ketersediaan waktu tersebut diwujudkan dalam bentuk keterlibatan dalam pengasuhan anak, berinteraksi dengan anak dalam jarak dekat (ketika di rumah) maupun jarak jauh (memantau dari kantor) serta menemani anak belajar. Para ayah menyadari bahwa anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, berhak mendapatkan waktu lebih banyak, sama banyaknya dengan waktu yang disediakan ibu.
Mitos 7: Ayah tunggal pasti tak mampu mengasuh anak-anaknya.
Fakta: Ayah tunggal, entah karena perceraian ataupun kematian, kini banyak yang betul-betul siap mengasuh anak-anaknya sendirian. Mereka dengan terampil dan up to date mampu menyiapkan kebutuhan anak-anaknya dan mendidik mereka. Di Indonesia, menjadi ayah tunggal mungkin terbantu dengan banyaknya uluran tangan dari kerabat dekat. Toh di luar negeri pun seperti dikemukakan oleh Terry Arrendell dalam Divorce: It’s a Gender Issue, American Bar Association Family Advocate, Vol. 17, bahwa ayah zaman sekarang tampaknya tak canggung sendirian membesarkan anak-anaknya.
Mitos 8: Peran ayah tidak berubah selama dua dekade.
Fakta: Salah besar bila mengatakan peran ayah stagnan alias tak mengalami peningkatan. Nyatanya, temuan Louise B. Silverstein dan Carl F. Auerbach dalam artikelnya Deconstructing the Essential Father yang dimuat dalam Journal of American Psychologist, Vol.54, menyatakan begitu banyak peran tradisional yang dulu dipegang ibu, kini tak sungkan diambil alih oleh ayah. Kecuali hamil, melahirkan dan menyusui, ayah semakin jauh terlibat dalam kehidupan si anak. Coba saja perhatikan, para ayah ini menemani bermain, mendampingi belajar, makan bersama, bahkan menyiapkan makanan untuk anak-anaknya.
Mitos 9: Ayah tidak dapat menggantikan peran ibu bagi anak perempuan.
Fakta: Apa pun jenis kelamin anaknya, ayah mampu menjadi role model yang tepat. Bagi anak lelaki, ayah menjadi contoh bagaimana berperilaku dan bersikap sebagai seorang gentleman. Sedangkan bagi anak perempuan, ayah merupakan contoh yang dekat dan sehat bagaimana dunia lelaki yang sesungguhnya sehingga anak perempuan tidak akan canggung ketika kelak menghadapi lawan jenisnya dalam pergaulan sosial. Demikian yang dikupas Piere Bronstein & C. P. Cowan dalam Fatherhood Today: Mens Changing Role In the Family. John Wiley & Sons, New York, 2002.
Mitos 10: Ayah hanya berkutat pada soal disiplin.
Fakta: Ayah memang sering dicitrakan sebagai pribadi kaku yang hanya mengedepankan soal disiplin dan keteraturan bagi anak-anaknya. Padahal sebenarnya, seperti yang disebut M.Y. Yogmen & Dwight Kindlon dalam bukunya Fathers, Infants and Toddlers (Harpers Parenting, New Jersey, 1998), ayah juga mampu bersikap hangat kepada anak-anak. Kehangatan itu ditunjukkannya dalam bentuk bermain bersama, menyiapkan makan malam bersama ibu dan menemani anak-anak belajar. Ayah modern justru enggan mencitrakan dirinya sebagai sosok yang dingin yang disegani dan dijauhi anak-anaknya.